Ibadah dalam arti khusus seperti shalat, zakat,
puasa dan haji, sedangkan secara umum ialah seluruh aktivitas seseorang hamba
yang dilakukan tidak bertentangan dengan aturan Allah”. Ibnu Taimiyah
mengatakan, ibadah ialah semua kebaikan yang disengangi Allah. Dalam pengabdian
kepada Allah banyak manusia yang memperoleh hanya haus dan laparnya saja dikala
puasa, capeknya saja dari rukuk dan sujud, ibadahnya sia-sia karena tidak
disandarkan kepada tujuan yang ikhlas. Ulama Salaf berpendapat, kerapkali amal
yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan sering pula amal yang besar
menjadi kecil karena salah niatnya.
Konsep yang mulia telah
dikemukakan Allah, berarti kehadiran manusia di bumi ini bukanlah secara
kebetulan tanpa rencana yang canggih, hidup bukanlah sekedar untuk melahirkan,
makan, minum, bernafas, tidur, kawin lalu beranak kemudian mati, lalu
kemudiannya tidak ada lagi persoalan. Sebagai hamba punya kewajiban pengabdian
kepada Khaliqnya sebagai penguasa, raja dan pencipta. Hak mutlak Allah ialah
tempat pengabdian bagi seorang hamba, bukan berarti bila manusia tidak
menyembah kepada-Nya lalu wibawa dan kekuasaan Allah luntur atau hilang. Dalam
Al Qur’an mengatakan, ”Andai seluruh isi langit dan bumi serta apa yang ada
disekitarnya tunduk dan patuh merendah kepada Allah, tidaklah akan meninggikan
nama Allah”, demikian pula sebaliknya, ”Walaupun seluruh isi langit dan bumi
kafir, ingkar dan durhaka kepada Allah, maka tidak akan menghilangkan
ketinggian Allah”.
Kita semua pasti mengetahui apa saja
yang dapat membatalkan wudhu, yang membatalkan shalat dan ibadah-ibadah
lainnya, dari segi hukum fikih pelaksanaan. Akan tetapi barangkali sedikit di antara kita yang mengetahui apa saja yang
dapat membatalkan amal ibadah seorang Muslim secara umum.
Membatalkan yang kita maksud adalah gugurnya atau terhapusnya pahala amal,
sebagian atau keseluruhan, atau amal ibadah dan segala kebajikan itu sendiri
tidak ada gunanya sama sekali, karena pemiliknya telah dihukumi keluar dari
Islam oleh Allah. Membatalkan, yang
dalam bahasa Arab adalah أَبْطَلَ, sering diungkapkan dengan kata أَحْبَطَ
yang bermakna, menggugurkan atau menghapus.
Ibnul Atsir di dalam An-Nihayah Fi Gharib al-Hadits mengatakan, "أَحْبَطَاللّهُعَمَلَهُ" (Allah menggugurkan amalnya), maknanya adalah, أَبْطَلَهُ
(Allah membatalkannya). Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab lebih jelas
menerangkan hakikat makna ini dengan mengatakan, "Kata kerja حَبَطَ
(gugur), bentuk ketiganya adalah حَبْطٌ dan bisa juga حُبُوْطٌ
maknanya adalah, seseorang mengerjakan suatu amal lalu dia merusaknya
sendiri."
Ini
mengisyaratkan bahwa ada hal-hal tertentu yang apabila dilakukan oleh seorang
Muslim, maka amal ibadahnya bisa menjadi sia-sia dan gugur tak berguna, tidak
diterima Allah dan tidak mendapatkan pahala. Dengan menyadari ini, setiap
Muslim wajib untuk mengetahui apa saja yang dapat merusak amal ibadahnya; tidak
untuk melakukannya, akan tetapi demi menjauhi dan senantiasa berhati-hati
terhadapnya. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim terdapat Riwayat dari
sahabat Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu, di mana beliau
berkata,"Para sahabat bertanya
kepada Rasulullah tentang kebaikan,
se-dangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan; karena saya takut akan
mendapatinya." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Artinya, sebagaimana seorang Muslim wajib mengetahui tauhid, dia juga wajib
mengetahui syirik; tidak untuk melakukan syirik, tetapi demimembersihkan
tauhidnya dari syirik tersebut dan demi senantiasa membentengi dirinya secara
sangat kokoh. Demikian juga, sebagaimana setiap Muslim wajib melaksanakan
kewajiban-kewajiban pokok yang telah Allah tetapkan atas setiap Muslim, dia
juga wajib menghindari apa saja yang dapat menggugurkan amal-amal wajib
tersebut.
Salah satu agar ibadah yang kita lakukan diterima Allah adalah dilaksanakan
dengan ikhlas, hanya karena Allah semata dan mengharapkan ridha-Nya, walaupun
akhirnya mendapatkan ridha dari manusia lainnya. Secara bahasa, ikhlas berasal
dari kata Kho-la-sho, artinya membersihkan. Ikhlas berarti membersihkan
motivasi dalam mendekatkan diri kepada Allah dari berbagai maksud dan niat yang
lain, atau mengkhususkan Allah sebagai tujuan dalam berbuat taat kepada-Nya.
Dengan kata lain ikhlas adalah memusatkan
pandangan [perhatian] manusia agar
senantiasa berkonsentrasi kepada Allah. Setiap mukmin senantiasa berkonsentrasi
kepada Allah. Setiap mukmin senantiasa melakukan perjanjian ikhlas dengan
Rabb-nya, sebagaimana sering kita baca beberapa ayat di dalam shalat, ”Sesungguhnhya aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cendrung kepada agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menserikatkan Allah” [Al
An’am 6;79], ”Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata”.
Ibadah yang ikhlaslah yang
diperhitungkan Allah walaupun sedikit serta tidak disaksikan orang lain;”Sekiranya kamu terangkan apa yang ada di
hatikmu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah akan memperhitungkan kamu juga”[Al
Baqarah 2;284].
Tidak ada artinya bila
ibadah tersebut disandarkan kepada yang lain, disamping beribadah kepada Allah
juga kepada makhluk, masih mencari tandingan-tandingan selain Allah, seperti
yang dilakukan ummat islam di lapisan masyarakat, mendatangi kuburan dan dan
dukun-dukun untuk memohon do’a dan berkah, percaya dengan batu-batu dan keris
dengan segala keramatnya.
Puasa dilaksanakan dengan baik ketika mertua ada
di rumah, tentang amalan yang dikerjakan dengan riya’, Allah berfirman;”Jika kamu mensekutukan Allah niscaya akan
hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”[Az
Zumar 39;65].
Ibadah yang dilakukan dengan riya’ dan
menserikatkan Allah, maka ibadah itu akan gugur seperti daun kering yang jatuh
dari pohon, akhirnya membusuk dan hancur, tidak berbekas lagi, sehingga seluruh
ibadah yang telah mengorbankan waktu, tenaga, fikiran dan perasaan hingga dana
yang tidak sedikit tidak dapat dipetik pahalanya di akherat sebab sejak di
dunia saja ibadah itu sudah hilang, gugur dan batal.
Buku ini berjudul IBADAH YANG BERGUGURAN, diterbitkan oleh PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SOLO, 2018.
Sebagai
peringatan kepada kaum muslimin untuk berhati-hati terhadap ibadah yang batal,
gugur, rusak dan tidak diterima oleh Allah Swt, padahal seorang muslim dalam
beribadah berharap agar ibadahnya dibalas dengan pahala yang berlipat ganda serta
dengan ibadah pula rahmat Allah mengantarkannya ke dalam syurga, tapi ternyata
tidaklah semudah yang diharapkan itu, ibadah kita terancam gugur ibarat
gugurnya daun kering di tengah hutan, yang akhirnya lapuk dan membusuk, lama
kelamaan hancur tanpa meninggalkan bekas. karena syirik kepada Allah, kufur,
nifaq, bid’ah dan lainnya sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Kahfi
18;103-105 ” Katakanlah: "Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan
mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan
mereka, dan Kami tidak Mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada
hari kiamat.”
Final penulisan buku ini tanggal 3 April 2014.M merupakan hari kelahiran penulis 50 tahun
yang lalu [3 April 1964.M], usia setengah abad yang dikaruniakan Allah ini
begitu banyak nikmat yang diberikan-Nya, diantaranya adalah nikmat hidup,
rezeki, jabatan, kesehatan, isteri dan anak yang shalehah, lebih-lebih nikmat
iman dan islam, semoga penulis termasuk orang-orang yang bersyukur atas nikmat
tersebut, menjadi orang yang selalu bertaubat atas dosa, kesalahan dan maksiat
yang dilakukan, apakah dosa kecil atau besar, apakah dosa itu disengaja ataupun tidak, semoga karunia Allah dan
ampunan-Nya tetap tercurah hingga akhir hayat.
Banyak sumber rujukan ulama dan
pemikir yang penulis ambil pendapat mereka dalam buku ini sebagai bahan
untuk merangkai kata dan kalimat sehingga bernash untuk dibaca, kepada nara
sumber tersebut penulis berdoa semoga buah kata dan tutur kalimat yang dikutip
mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai sarana untuk menaikkan
timbangan amal, sebagaimana Rasulullah menyatakan bahwa penanya para ulama itu
diukur dengan darah para syuhada.
Terima kasih kepada penerbit yang berkenan
menerbitkan buku kecil ini untuk kepentingan da’wah. Ucapan terima kasih pula
kami sampaikan kepada semua pihak yang membantu penulis dengan sokongan moral. Teriring salam untuk ayahanda Denak dan ibunda Rosnidar,
kakak-kakak Ernawati, Marsudi dan adik-adik yaitu Erma, Septiyani, Mahdalena
dan Dedek Wahyuli, kerabat di Metro
Lampung dan di Pariaman Sumatera Barat serta isteri tercinta Yulismar S.Pd yang setia menemani dan mensupport penulisan karya ini, dan anakku terkasih Rani Ihsani
Mukhlis.
Semoga dengan
tulisan sederhana ini yang kemudian
dibukukan menjadi sebuah judul hingga sampai di tangan pembaca adalah sebuah
upaya turut serta berda’wah diera Reformasi ini melalui tulisan yang kalau
dibiarkan akan terserak entah kemana, kepada semua pihak yang telah turut serta
menanamkan investasi kebaikan hingga terbit dan tersebarnya buku ini kami
haturkan terima kasih, semoga ini menjadi amal baik bagi kita semua, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar